Oleh: S. PINARDI
Awal ke-Hindu-an di Jawa Tengah
Setelah masa Purnnawarman berkuasa di Jawa Barat tidak diketahui lagi nasib kerajaan Tarumnagara. Rupa-rupanya ke-Hindu-an berpindah ke Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sebuah prasasti di lereng barat Gunung Merbabu , di desa Dakawu, Grabag, kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, akan tetapi lebih muda daripada huruf-huruf yang digunakan dalam prasasti-prasasti Raja Purnnawarman. Poerbatjaraka memperkirakan prasasti ini sekitar tahun 500 Masehi (Poerbatjaraka ,1952).
Adapun huruf-huruf yang masih dapat terbaca antara lain:
. . . . . . . uçucy ambûruhānujatā
Kvaclc chilāvālukanirggateyam
Kvacit prakīrnnā çubhaçitatoyā
Samprasrta. . . . . . . . (e)va gangā.
Artinya adalah :
“ (Mata air) yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ketempat yang banyak bunganya tunjung putih, serta mengalir kesana-sini. Setelah menjadi satu lalu mengalir . . . . . .. . . seperti Sungai Ganggā” (Poerbatjaraka, 1952).
Di samping itu prasasti tersebut juga disertai dengan gambar alat-alat yang biasanya dipakai dalam upacara keagamaan , seperti “gigi tiga”,kendi,kampak, kalasangka dan lain-lainnya. Tergambar juga roda dan bunga tunjung kembang.Meskipun gambar-gambar tersbut tidak dapat memberi gambaran yang jelas, namun Poerbatjaraka menafsirkan bahwa orang-orang yang menulis prasasti tersebut bukan orang India yang beragama Budha.
Sebuah prasasti yang juga bersifat ke-Hindu-an adalah yang ditemukan di Desa Sojomerto, Batang, Pekalongan. Prasasti tersebut mengindikasikan adanya semacam silsilah ,yaitu nama Dapunta Selendra yang berputera bernama Santanu dan beristrikan Badrawati. Dapunta Selendra ini menganut agama çiwa (Hindu). Informasi ini ditafsirkan oleh Poerbatjaraka yang kemudian diperkuat oleh pendapat Boechari , bahwa berdasarkan prasasti Sojomerto ini ternyata di Jawa Tengah tidak ada dua dinasti tetapi hanya ada satu dinasti (keturunan), yaitu Dapunta Selendra beragama çiwa. Baru kemudian keturunan-keturunannya ada yang menganut çiwa dan ada yang Budha( Boechari,1967). Dari segi paleografis Boechari memperkirakan bahwa prasasti Sojomerto ini berasal dai abad VII Masehi.
Prasasti Canggal Awal prasasti angka tahun di Jawa
Sebuah prasasti yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta setelah prasasti Tuk Mas dan Sojomerto di Jawa Tengah adalah prasasti yang ditemukan di desa Canggal di daerah Kedu, Sleman,Yogyakarta. Menurut Poerbatjaraka prasasti Canggal ini dari segi paleografis lebih muda lagi daripada prasasti Tuk Mas. Suatu hal yang sangat menarik dari prasasti Canggal adalah angka tahunnya. Berbeda dengan angka tahun dalam prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditulis dalam bentuk angka, sedangkan angka tahun dalam prasasti Canggal adalah dalam bentuk “ Candra Sengkala “., yang sangat jelas yaitu tahun 654 çaka = 732 Masehi.
Berikut kutipan bagian dari prasasti yang menyebut Candra Sengkala tersebut:
1.çākendre’tigete çrutīndriya-rasair ankikrteatsare.
vārendau dhavala trayodaçi-tithau bhadrottare kartike,
lagne kumbhamaye sthīranga-vidite prāstisthipat parvate,
lingam laksana-laksitamnarapatiç çri Sañjayaç çantaye
- . . . . . . .. . . . . ( Poerbatjaraka,1952).
Adapun sebagian kutipan prasasti tersebut artinya sebagai berikut :
“1.Pada tahun raja –çaka yang telah lalu dengan ditandai angka çruti-indriya-rasa = 654 çaka (atau 732 Masehi), hari Senin, hari baik tanggal 13 paro-terang bulan Kartika . . . . . . . . . . . .Sang raja Sañjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda (yang telah dipastikan )di bukit yang bernama Sthīrangga buat keselamatan ( rakyatnya).”
Selanjutnya pada bait ke-dua dan seterusnya berisi pujian-pujian tentang raja yang diibaratkan sebgai dewa-dewa dalam agama Hindu. Di samping itu juga digambarkan tentang bumi Jawa yang tak ada bandingannya tentang hasil buminya , terutama hasil padinya; kaya akan tambang emas, pulau yang penuh dengan tempat-tempat pemujaan suci terutama pemujaan “Lingga”tempat yang sangat mulia dan mengherankan dan , yang didirikan di daerah suci Kuñjarakuñja namanya untuk keselamatan dan kemakmuran dunia.
Dalam bait 8 disebutkan bahwa di pulau Jawa tersebut, yang sangat mashur menjadi mustika di antara tempat manusia lain-lainnya, di situ ada seorang raja sang Sanna namanya , berasal dari keluarga kerajaan tinggi dan mashur karena jasanya yang sangat besar , memernah sekalian rakyatnya dengan kebaikan anugraha dan kehalusan budi , seolah-olah seorng bapak (mendidik anaknya mulai dari kecil karena (cintanya) menaklukkan musuhnya seperti sang Manu sangat lama memerintah kerajaannya dengan keadilan.
Dalam bait 9 disebutkan, setelh raja Sanna mendiang ( sesudah beliau sangat lama memelihara kebahagian negranya , dan pergi ke swarga untuk merasakan kenikmatan , yakni himpunan dari tabiatnya yang sangat baik itu, maka pecahlah negaranya , bingung karena susah kehilangan perlindungannya.
Bait 10 menjelaskan(adapun) yang bangkit (menggantinya menjadi raja ) yakni seorang raja yang warna kulitnya berkilau-kilauan seperti emas yang luluh dalam api yang berkobar-kobar. . . . . .. ., yang mempunyai lengan yang kuat seperti bukit barisan turun dari puncak bukit indungnya; yang mengangkat kepalanya sangat tinggi sepertibukit Meru (Himalaya) dengan puncaknya ;yang kakinya terletak lebih tinggi daripada kepala dari raja-raja yang duduk di tanah.
Bait 11menyebutkan , yang termulia dan dihormati oleh sekalian para bijaksana karena pengetahuannyaakan kitab-klitab dengan maksudnya yang sulit-sulit; seorang raja yang bertabiat gagah berani seperti çri Râma menaklukkan sekalian raja-raja di sekitar negaranya . Namanya adalah sang raja çri Sañjaya , dengan jasanya sebagai Matahari , mashur di mana-mana mempunyai kebah Debgan demikian tahun 928 M meruoakanagiaan . Beliau adalah putera sang Sannaha , saudara perempuan sang raja Sanna.
Ulasan isi prasasti Canggal
Dari isi prasasti Canggal yang terdiri dari 12 bait (pada), ini diperoleh beberapa informasi penting,antara lain tentang unsur angka tahun dan unsur penanggalan. Prasasti Canggal merupakan prasasti tertua di Jawa Tengah yang berangka tahun, meskipun angka tahunnya masih dalam bentuk Candra Sengkala, sementara prasasti-prasasti sebelumnya, yaitu prasasti Tuk Mas( 500 M( Poerbatjaraka ) dan prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi( Poerbatjaraka; Boechari) belum menggunkan angka tahun maupun Candra Sengkala. Di sisi lain dari masa yang hampir bersamaan waktunya ( akhir abad ke-7, 682,683,684 Masehi ) prasasti-prasasti dari masa Sriwijaya sudah menggunakan angka tahun.
Sengkalan Çruti-indriya-rasa = 654 Ç= 732 Masehi. Kata Çruti = angka 4, karena kata Çru dalam bahasa Sanskerta berarti “mendengar”. Dalam agama Hindu yang harus didengar adalah empat (4) kitab-kitab Weda (catur weda), sedangkan Indriya dikenal lima Indra (Panca Indra)., sedangkan rasa dikenal ada enam rasa ( sat rasa). Jadi 654 Çaka = 732 Masehi.
Adapun unsur penanggalan dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa pada tahun Çaka Çruti-indriya-rasa hari Senin, hari baik tanggal 13 paro-terang bulan Kartika. Dalam pertanggalan Jawa Kuno satu (1 ) bulan itu dibagi ke-dalam dua (2) waktu, yaitu paro terang dan paro gelap atau çukla paksa dan krsna paksa. Paro terang yaitu tanggal 1 sampai dengan 15, sedangkan paro-gelap yaitu tanggal 16 sampai 30 dan seterusnya. Perhitungan hari berdasarkan peredaran bulan, sedangkan perhitungan bulan berdasarkan peredaran matahari.
Pada hari yang baik tersebut sang raja Sañjaya mendirikan Lingga di bukit Sthīrângga ( = yang berbadan kokoh) untuk keselamatan rakyatnya. Lingga adalah personofikasi dewa Çiwa dalam bentuk Phallus. SEcara verikal Lingga ini terdiri atas tiga bagian ( bhaga), yaitu bagian bawah berbentuk segi empat disebut Brahma bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan (disebut Wisnu bhaga), sedangkan bagian atas berbentuk silinder ( disebut Çiwa bhaga/ Rudra bhaga). Pendirian Lingga di atas bukit Sthirangga juga dapat ditafsirkan sebagai “tugu” peringatan kekuasaan Sañjaya atas kemenangannya erhadap musuh-musuhnya .
Dalam bait (pada) 2 sampai dengan bait 6 digambarkan se olah-olah sang raja ibarat sebagai dewa-dewa di dalam agama Hindu., sedangkan pada bait ke-7 digambarkan pulau Jawa yang tak ada tandingannya tentang hasil buminya terutama hasil padinya; kaya akan tambang emas; pulau yang penuh dengan tempa-tempa memujaan suca,terutama pemujaan “Lingga” yang didirikan di daerah suci yang bernama Kuñjarakuñja untuk keselamatan rakyat dan dunia.
Di antara tempat-tempat yang suci untuk pendirian Lingga tersebut bernama Kuñjara-kuñja-deça atau daerah Kuñjara-kuñja. Mengenai lokasi tempat tersebut menjadi perdebatan para ahli,antara lain Hendrik Kern yang kemudian juga dianut oleh N.J. Krom yang mengatakan bahwa daerah tersebut boleh jadi di Hindustan Selatan. Pendapat ini dibantah oleh W.F.Stutterheim yang berpendapat bahwa tempat itu harus dicari di Jawa Tengah terutama daerah Kedu.
Poerbatjaraka seorang filolog dan juga arkeolog mencoba mengurai kata kuñjara-kuñja-deça menurut keyakinannya bahwa kata itu bila disalin ke dalam bahasa Indonesia adalah : gajah-hutan-daerah atau daerah –hutan-gajah. Adapun kata hutan padanannya adalah alas; gajah padanannya adalah liman , sehingga hutan – gajah dapat diartikan alas-(ing) sa-liman. Lambat laun kata sa-liman menjadi Sleman . Pertanyaannya adalah benarkah Candi Canggal menjadi bukti kejayaan kerajaan raja Sañjaya ? (Poerbatjaraka,1952).
Raja Sañjaya dan Medang
Menurut prasasti Mantyasih 907 M, raja yang berkuasa sebelum Rakai Panangkaran adalah raja Sañjaya. Raja inilah yang mengeluarkan prasasi Canggal 654 çaka = 732 M. Sañjaya diperkirakan memerinah tahun 717 M. Hal ini didasrkan aas perhitungan Tarikh Sañjaya yang hanya digunakan oleh raja Daksottama did lm dua prasastinya. Jika dugaan ini benar, maka Sañjaya memerintah antara tahun 717 hingga tahun 746 M. Informasi tentang raja Sañjaya ini diperoleh dari prasastinya yang ditemukan di dekat reruntuhan candi di bukit Gunung Wukir, Sleman, seperti telah disebutkan dalam tulisan di atas.Lebih lanju dalam prasasti Mantyasih yang dicantumkan hanya raja-raja yang berdaula penuh, atas seluruh wilayah kerajaannya , misalnya Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, Dyah Bhadra tidak dimasukkan dalam daftar raja-raja, karena mereka tidak pernah berdaulat penuh atas wilayah kerajaannya. Hal ini terbukti dari singkatnya masa pemerintahan mereka karena digulingkan dari tahta, seperti yang telah diketahui dari prasasti Wanua Tengah III 908 M ( Kusen,1988). Dalam prasasti tersebut nama raja Sañjaya tidak disebut karena riwayat sawah di Wanua Tengah baru dimulai dari masa Rakai Panangkaran.
Dari telaah prasasi Wanuah Tengah III dapa diketahui bahwa pergantian raja-raja Mataram Kuno tidak selalu mulus, perubahan tahta sering terjadi. Dari hasil rekonstruksi dapat diketahui bahwa perebutan kekuasaan terjadi di antara keluarga keturunan Sañjaya dan bukan karena pertentangan antara dinasti Çailendra dan Sañjaya.
Dalam prasasti Mantyasih 829 çaka = 907 M, menyebut raja Sañjaya dan raja-raja Mataram Kuno lainnya sebagai berikut : .. . “ Rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu rakai mataram sang ratu Sañjaya Çri maharaja rakai panangkaran çri maharaja rakai warak çri maharaja rakai garung çri maharaja rakai pikatan çri maharaja rakai kayuwangi çri maharaja rakai watu humalang lwiha sangkarika landapan yan paksasapatha çri maharaja rakai watukura dyah balitung dharmmodaya mahaçambhu . . . . ,”.
Seperti tersebut di atas raja Balitung naik tahta karena perkawinan ( “tatkala warangan haji = ketika perkawinan raja “)., mengawini puteri raja Dhaksa. Oleh sebab itu untuk melegitimasikan kekuasaannya Balitung menyebut dalam prasasti Mantyasih nama-nama raja pendahulunya . Hal ini lazim terjadi pada raja-raja yang naik tahta tidak secara genealogis atau turun temurun. Berbagai cara dilakukan, misalnya raja pertama Majapahit, Raden Wijaya dengan gelar Krtarajasa Jayawarddhana .Gelar tersebut mepupakan kompilasi dari pendahulu-pendahulunya. Krtarajasa merupakan gabungan dari Krta+rajasa, Krta adalah nama raja Krtanagara, sedangkan Rajasa adalah gelar Ken Arok, sedangkan Jayawarddhana merupakan gabungan dari raja Tohjaya dan Warddhana adalah nama ayah Krtanagara yaitu Wisnuwarddhana, dengan menggabungkan nama-nama raja pendhulunya ini Raden Wijaya dirinya telah terlegitimasikan. Di samping itu dengan memperistri ke-empat putri Krtanagara mejadikan Raden Wijaya semakin kokoh kedudukannya.
Sebagai cikal bakal leluhur Balitung raja Sañjaya disebut rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu rakai mataram sang ratu sañjaya. Dalm prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Sañjaya yang dimuliakan di Mdang di Poh Pitu. Sampai saat iini belum diketahui lokasi secara pasti lokasi Poh Pitu tersebut. Yang jelas dari data prasasti ternyata lokasi kerajaan Mdang berpindah-pindah dan perpindahan ini menarik untuk dikaji penyebabnya.
Dapat diketahui bahwa pentahbisan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di kerajaan Mdang beribukota di Mamratipura, berikut kutipan prasastinya “ ……ginlar I mamratipurastha madang kadatwan ……” Dengan demikian pada masa Rakai Kayuwangi kadatwan (ibukotanya) sudah berpindah di Mamratipura.
Dalam prasasti Sugih Manek dan Sangguran ( Masa Dhaksa dan Wawa), dijumpai keterangan “…. Kita prasiddha mangraksa kadatwan çri maharaja I mdang I bhumi mataram……”. Sementara N.J.Krom dan Poerbatjaraka berpendapat bahwa prasasti-prasasti Mpu Sindok ( prasasti Anjuk Ladang dan Paradah), terdapat keterangan yang menyebutkan “ . . . . . . kitaprasiddha mangraksa kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram I watugaluh. . . . . .”. Dari informasi ini dapat diketahui bahwa pada masa Sindok dimana telah terjadi perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur . Mpu Sindok masih menyebut leluhurnya dengan kata-kata rahyangta I mdang I bhumi mataram ,meskipun ibukotanya sudah berpindah ke Watugaluh.
Dengan demikian Mdang yang cikal bakalnya di Poh Pitu masa Sañjaya , kemudian pda masa Rakai Kayuwangi berpindah di Mamratipura , kemudian masa Pu Sindok berpindah ke Jawa Timur di Watu Galuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mdang diabadikan sepanjang masa Mataram Kuno akhir sampai masa Jawa Timur awal, Mpu Sindok berkuasa dari tahun 929 M sampai 947 M . Dengan demikian tahun 928 M merupakan tahun terakhir kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dan ini merupkan masa peralihan .Adapun raja terakhir Mataram Kuno adalah raja Dyah Wawa (prasasti tahun 927 M.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sumadio (ed), 1992, Sejarah Nasional Indonesia II,edisi 4, akarta,Balai Pustaka.
Boechari,1965, Epigraphy and Indonesian Hisoriography, Cornell Press).
————, 1966, “Preliminary Report on the Discovery of an Old –Malay Inscription at
Sodjomerto”, MISI jilid III,hlm.241-251.
…………..,1976, Some considerations of the problems of the shift of Mtaram’s center of
Government from central to east ava in the 10th century AD,”Bulletin of the
Research centre of Archaeology of Indonesia,No.10 .Jakarta.
…………..,1986b,”Local Genius dalam Pranata Sosial di Indonesia pada masa Klasik”, Ke-
Pribadian Budaya Bangsa, Jkt,Pustaka Jaya ,hlm.200-206.
Djafar,1978,Girindrawardhana .Beberapa Masalah Raja-raja Majapahit Akhir,
Jakarta:Nalanda.
Heine Geldern,R.von.1982,Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukakan Raja di Asia
Tenggara,erjemahan Deliar Noer,Jkt: C..Rajawali.
Kusen, 1988-1989,”Faktor-faktor penyebab Terjadinya Perubahan Status sawah di Wanua
Tengah dalam masa pemerintahan raja-raja Mataram kuna abad 9-10 “,
Laporan Penelitian fak.Sasra UGM.
Poerbatjaraka,1952 Riwayat Indonesia I, Jakarta: Yayasan Pembangunan.
Slamet Mulyana,1979,Nagarakretagama dan Tasir sejarahnya, Jkt,Bhratara Karya Aksara.
Slamet Pinardi,1990, Posisi Wanita Jawa Kuno dalam Suksesi abad X –XV M,Laporan Pe-
nelitian Fak.Sastra UGM.
Schrieke B.,1957,”Ruler and Realm in Early Java “,Indonesian Sociological Studies.part two.
Soemarsaid Moertono,1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa masa lampau.seri
terjemahan ,JKt: Yayasan Obor.
Titi Surti Nastiti,dkk,1982.Tiga Prasasti balitung, JKt:Puslitarkenas.
Leave a Reply